Penulis: Ummu Rumman
Muroja’ah: Ust. Abu Salman
Segala puji bagi Rabb alam semesta, shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Saudariku muslimah…
Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu dulu sampai masa sekarang.
Pernahkah engkau memperhatikan seorang anak kecil yang tengah bersama orang tuanya? Atau, ingatlah masa kecilmu dulu sampai masa sekarang.
Ingatlah betapa besar kasih sayang kedua orang tuamu kepadamu.
Ingatlah betapa besar perhatian mereka akan tempat tinggalmu, makan dan
minummu, pendidikanmu, serta penjagaan mereka pada waktu malam dan
siang. Ingatlah betapa besar kekhawatiran mereka ketika engkau sakit
hingga pekerjaan yang lain pun mereka tinggalkan demi merawatmu. Uang
yang mereka cari dengan susah payah rela mereka keluarkan tanpa pikir
panjang demi kesembuhanmu. Ingatlah kerja keras siang malam yang mereka
lakukan demi menafkahimu. Niscaya engkau akan mengetahui kadar
penderitaan kedua orang tuamu pada waktu mereka membimbing dirimu hingga
beranjak dewasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam Al qur’an, agar manusia berbakti kepada kedua orang tuanya.
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang
tua. Dan jika salah satu dari keduanya atau kedua-duanya telah berusia
lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya.
Dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia, dan rendahkanlah
dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah:
‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya telah
menyayangi aku waktu kecil.’” (Al Israa’: 23-24)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam surat An Nisaa’ ayat 36, “Dan
sembahlah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan
berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, kepada kaum kerabat, kepada
anak-anak yatim, kepada orang-orang miskin, kepada tetangga yang dekat,
tetangga yang jauh teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membanggakan dirinya.” (An Nisaa’: 36)
Jika kita perhatikan, berbuat baik kepada kedua orang tua seperti
yang tercantum pada ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa
berbakti kepada kedua orang tua menduduki peringkat kedua setelah
mentauhidkan (mengesakan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam beribadah.
Karena itu bisa kita pahami bahwa tidak boleh terjadi bagi seorang yang
mengaku bertauhid kepada Allah tetapi ia durhaka kepada kedua orang
tuanya, wal iyadzubillah nas alullaha salamah wal ‘afiyah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Menciptakan dan Allah yang Memberikan
rizki, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang berhak diibadahi.
Sedangkan orang tua adalah sebab adanya anak, maka keduanya berhak untuk
diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi
seorang anak untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian
diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
Saudariku, marilah kita belajar dari mulianya akhlaq para salaf dalam
berbakti kepada kedua orang tuanya. Sesungguhnya dari kisah mereka kita
dapat mengambil pelajaran yang baik. Dari Ibnu Aun diriwayatkan bahwa
ia menceritakan, Seorang lelaki ada yang pernah menemui Muhammad bin
Sirin di rumah ibunya. Ia bertanya, “Ada apa dengan Muhammad? Apakah ia sakit?”
(karena Muhammad bin Sirin suaranya lirih hampir tak terdengar bila
berada di hadapan ibunya. red). Orang-orang di situ menjawab, “Tidak. Cuma demikianlah kondisinya bila berada di rumah ibunya.”
Dari Hisyam bin Hissan, dari Hafshah binti Sirin diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Muhammad, apabila menemui ibunya, tidak pernah berbicara dengannya dengan suara keras demi menghormati ibunya tersebut.”
Dari Ibnu Aun diriwayatkan bahwa ia menceritakan, “Suatu hari
ibunya memanggil beliau, namun beliau menyambut panggilan itu dengan
suara yang lebih keras dari suara ibunya. Maka beliau segera membebaskan
dua orang budak.”
Dari Muhammad bin sirin diriwayatkan bahwa ia menceritakan, pada masa
pemerintahan Ustman bin Affan, harga pokok kurma mencapai seribu
dirham. Maka Usamah bin Zaid bin Haritsah mengambil dan menebang
sebatang pokok kurma dan mencabut umbutnya (yakni bagian di ujung pokok
kurma berwarna putih, berlemak berbentuk seperti punuk unta, biasa
dimakan bersama madu), lalu diberikan kepada ibunya untuk dimakan.
Orang-orang bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan hal itu, padahal engkau tahu bahwa pokok kurma kini harganya mencapai seribu dirham?” Beliau menjawab, “Ibuku menhendakinya. Setiap ibuku menginginkan sesuatu yang mampu kudapatkan, aku pasti memberikannya.”
Saudariku, andaikan (kelak) kita menjadi orang tua, tidakkah kita
akan kecewa dan bersedih hati bila anak kita berkata kasar kepada kita,
orang tuanya yang telah membesarkannya. Lalu, apakah kita akan tega
melakukannya terhadap orang tua kita saat ini? Mereka yang selalu
berusaha meredakan tangis kita ketika kecil. Ingatlah duhai saudariku,
doa orang tua terutama ibu adalah doa yang mustajab. Maka janganlah sekali-kali engkau menyakiti hati mereka meskipun engkau dalam pihak yang benar.
Cermatilah kisah berikut ini saudariku…
Dari Abdurrahman bin Ahmad, meriwayatkan dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menemui Baqi’ dan mengatakan, “Sesungguhnya
anakku ditawan, dan saya tidak memilki jalan keluar. Bisakah anda
menunjukkan orang yang dapat menebusnya; saya sungguh sedih sekali.” Beliau menjawab, “Bisa. Pergilah dahulu, biar aku cermati persoalannya.”
Kemudian beliau menundukkan kepalanya dan berkomat-kamit. Tak berapa
lama berselang, wanita itu telah datang dengan anak lelakinya tersebut.
Si anak bercerita, “Tadi aku masih berada dalam tawanan raja. Ketika saya sedang bekerja paksa, tiba-tiba rantai di tanganku terputus.”
Ia menyebutkan hari dan jam di mana kejadian itu terjadi. Ternyata
tepat pada waktu Syaih Baqi’ sedang mendoakannya. Anak itu melanjutkan
kisahnya, “Maka petugas di penjara segera berteriak. Lalu melihatku
dan kebingungan. Kemudian mereka memanggil tukang besi dan kembali
merantaiku. Selesai ia merantaiku, akupun berjalan, tiba-tiba rantaiku
sudah putus lagi. Mereka pun terbungkam. Mereka lalu memanggil para
pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya, ‘Apakah engkau memilki ibu?’
Aku menjawab, ‘Iya.’ Mereka pun berujar, ‘mungkin doa ibunya, sehingga
terkabul’.”
Kejadian itu diceritakan kembali oleh al Hafizh Hamzah as Sahmi, dari
Abul Fath Nashr bin Ahmad bin Abdul Malik. Ia menceritakan, aku pernah
mendengar Abdurrahman bin Ahmad menceritakannya pada ayahku, lalu ia
menuturkan kisahnya. Namun dalam kisahnya disebutkan, bahwa mereka
berkata, “Allah telah membebaskan kamu, maka tidak mungkin lagi bagi
kami menawanmu.” Mereka lalu memberiku bekal dan mengantarkan aku
pulang.
Saudariku muslimah…
Maukah engkau kuberitahu amalan utama yang dapat membuatmu dicintai
Allah? Tidakkah engkau ingin dicintai Allah, saudariku? maka sambutlah
hadist berikut ini.
“Dari Abdullah bin Mas’ud katanya: ‘Aku bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amal-amal paling utama dan
dicintai Allah,’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Pertama
shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal
waktu), kedua berbakti kepada kedua orang tua, ketiga jihad di jalan
Allah.’” (HR. Bukhari I/134, Muslim No.85, Fathul Baari 2/9)
Saudariku muslimah…
Tidakkah engkau ingin selalu dalam keridhaan Allah? Maka, jadikanlah
kedua orang tuamu ridha kepadamu, sebab keridhaan Allah berada dalam
keridhaan kedua orang tuamu. Dan kemurkaan Allah berada dalam kemurkaan
kedua orang tuamu. Seandainya ada seorang hamba datang di hari kiamat
dengan membawa amal perbuatan seribu orang shiddiq, namun dia
durhaka kepada kedua orang tuanya, maka Allah Tabaaraka wa Ta’ala tidak
akan melihat amalannya yang begitu banyak walau sedikit pun. Sedangkan
tempat kembali orang seperti ini tidak lain adalah neraka. Dan tidak ada
seorang hamba laki-laki atau perempuan yang membuat wajah kedua orang
tua atau salah satu dari mereka tertawa, kecuali Allah akan mengampuni
semua kesalahan dan dosanya. Dan tempat kembali orang seperti ini adalah
surga. Tidakkah kita menginginkan surga, saudariku?
Saudariku muslimah…
Sesungguhnya hak-hak kedua orang tuamu atas dirimu lebih besar dan
berlipat ganda banyaknya sehingga apapun yang engkau lakukan dan sebesar
penderitaan yang engkau rasakan ketika kamu membantu bapak dan ibumu,
maka hal itu tidak akan dapat membalas kedua jasanya. Di dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan bahwa ketika sahabat
Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu melihat seseorang menggendong ibunya untuk thawaf di Ka’bah dan ke mana saja ’si ibu’ menginginkan, orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?” Jawab Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu.” (Shahih Al adabul Mufrad no. 9)
Saudariku muslimah…
Tidakkah engkau ingin diluaskan rizkimu dan dipanjangkan umurmu oleh Allah? Maka perhatikanlah dengan baik sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” (HR. Bukhari 7/72, Muslim 2557, Abu dawud 1693)
Saudariku, betapa besar semangat dan bahagianya hati kita ketika
silaturrahim kepada teman-teman kita. Perjalanan jauh pun tidak kita
anggap sulit. Ketika sudah bersama mereka, waktu seakan berjalan dengan
cepat. Lalu, manakah waktu untuk silaturrahim kepada kedua orang tua
kita? Beribu alasan pun telah kita siapkan.
Tahukah engkau saudariku, bukankah orang tua adalah keluarga terdekat
kita. Maka merekalah yang haknya lebih besar untuk kita dahulukan dalam
masalah silaturrahim. Ingatlah pula bahwa merekalah yang selalu berada
di sisi kita baik ketika bahagia maupun duka, berkorban dan selalu
menolong kita lebih dari teman-teman kita. Lalu, masih enggankah kita
membalas segala pengorbanan mereka?
Saudariku muslimah…
Berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan sebuah keharusan, bahkan hal ini harus didahulukan daripada fardlu kifayah serta amalan-amalan sunnah lainnya. Didahulukan pula daripada jihad (yang hukumnya fadlu kifayah)
dan hijrah di jalan Allah. Pun harus didahulukan daripada berbuat baik
kepada istri dan anak-anak. Meski tentu saja hal ini bukan berarti
kemudian melalaikan kewajiban terhadap istri dan anak-anak.
Saudariku, taatilah kedua orang tuamu dan janganlah engkau menentang
keduanya sedikit pun. Kecuali apabila keduanya memerintahkan padamu
berbuat maksiat kepada Tuhanmu, karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak ada ketaatan bagi makhluk apabila pada saat yang sama bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Ahmad)
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua
orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah tempat
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuannya tentang itu, maka janganlah kamu
menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman 14-15)
Sering kali, ketika rasa kecewa telah memenuhi hati kita, kekecewaan
yang muncul akibat orang tua yang tidak tahu dan tidak paham akan
kebenaran Islam yang sudah kita ketahui, bahkan ketika mereka justru
menjadi penghalang bagi kita dalam tafaquh fiddin, kita jadi seakan-akan mempunyai alasan untuk tidak mempergauli mereka dengan baik.
Saudariku, ingatlah bahwa sejelek apapun orang tua kita, kita tetap
tidak akan bisa membalas semua jasa-jasanya. Ingatlah, bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala pun tetap memerintahkan kita untuk mempergauli
mereka dengan baik, meskipun mereka telah menyuruh kita berbuat
kesyirikan. Ya, yang perlu kita lakukan hanyalah tidak mentaati mereka
ketika mereka menyuruh kita untuk bermaksiat kepada Allah dan tetap
berlaku baik pada mereka. Lebih dari itu, tidakkah kita ingin agar bisa
mereguk kebenaran dan keindahan Islam bersama mereka, saudariku?
Tidakkah kita menginginkan kebaikan dan keselamatan bagi mereka
sebagaimana mereka yang selalu menginginkan kebaikan dan keselamatan
bagi kita? Tidakkah kita ingin agar Allah mempertemukan kita di
Jannah-Nya? Karena itu, bersabarlah saudariku. Bersabarlah dalam
membimbing dan berdakwah pada mereka sebagaimana mereka selalu sabar
dalam membimbing dan mengajari kita dahulu. Jangan pernah putus asa
saudariku, batu yang keras sekalipun bisa berlubang karena ditetesi air
terus menerus.
Tahukah engkau saudariku, salah satu doa yang mustajab? Yaitu doa
dari seorang anak yang shalih untuk orang tuanya. Sambutlah kembali
hadiah nabawiyah ini, saudariku.
Dalam hadist Abu Hurairoh radhiyallahu anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakan orang tuanya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah pasti mengangkat derajat bagi hamba-Nya yang shalih ke surga,
maka ia bertanya, ‘Ya Allah, bagaimana itu bisa terjadi?’ Allah
menjawab, ‘Berkat istigfar anakmu untukmu.’” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kelak
akan datang kepada kamu sekalian seseorang bernama Uwais bin ‘Amir, anak
muda yang belum tumbuh janggutnya, keturunan Yaman dari kabilah Qarn.
Pada tubuhnya terkena penyakit kusta, namun penyakit itu sembuh
daripadanya, kecuali tersisa seukuran uang dirham. Dia mempunyai ibu
yang ia sangat berbakti kepadanya. Apabila ia berdoa kepada Allah
niscaya dikabulkan, maka jika engkau bertemu dengannya dan memungkinkan
minta padanya memohonkan ampun untukmu maka lakukanlah.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Nah, saudariku. Janganlah engkau enggan untuk berdoa demi kebaikan
orang tuamu. Sekeras apapun usaha yang engkau lakukan, bila Allah tidak
berkehendak, niscaya tidak akan pernah terwujud. Hanya Allahlah yang
mampu Memberi petunjuk dan membukakan pintu hati kedua orang tuamu.
Mintalah pada-Nya, karena tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya.
Memohonlah terus pada-Nya dan jangan pernah bosan meski kita tidak tahu
kapankah doa kita akan dikabulkan. Pun seandainya Allah tidak
berkehendak untuk memberi mereka petunjuk hingga ajal menjemput mereka,
ingatlah bahwa Allah tidak pernah mendzalimi hamba-Nya. Janganlah
berhenti berdoa saudariku, karena tentu engkau sudah tahu bahwa doa
seorang anak shalih untuk orang tuanya tidaklah terputus amalannya meski
kedua orang tuanya sudah meninggal.
Sesungguhnya perkataan yang paling jujur adalah Kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi kita sholallahu ‘alaihi
wassalam, dan seburuk-buruk perkara adalah yang baru dan diada-adakan
dan setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan
setiap kesesatan adalah di neraka.
Allahummaghfilana wa li waalidainaa warham huma kamaa robbayanaa shighoro
- Selesai ditulis pada 26 Sya’ban pukul 08.12 di bumi Allah
Untuk bapak ibu, yang telah merawat dan memberikan kasih sayang
berlimpah padaku. Tiada yang kuinginkan bagi kalian selain kebaikan dan
keselamatan dunia akhirat. Semoga Allah menyelamatkan kita dan keluarga
kita dari api neraka yang bahan bakarnya dari batu dan manusia, serta
mengumpulkan kita di dalam Jannah-Nya.
Maraji’:
- Aina Nahnu min Akhlaq As Salaf (Abdul Aziz bin Nashir al Jalil)
- Birrul Walidain (Yazid bin Abdul Qodir Jawas)
- Bustaan Al Waa’idziin wa Riyaadh Al Saami’iin (Ibnul Jauzi)
***
Artikel www.muslimah.or.id
0 Response to "~Saudariku, Janganlah Engkau Sakiti Kedua Orangtuamu~"
Posting Komentar